Welcome to Nanda's Blogspot!

Kamis, 23 Desember 2010

Perjuangan seorang ibu di Negara Yunani

Beberapa tahun silam di Negara yunani, hiduplah seorang anak dan seorang ibu yang hidup sebatang kara. Sang ibu sebutlah siti maryam. Dan seorang putranya yang bernama ghozi. Ayahnya ghozi meninggal karena penyanyit jantung. Ghozi adalah pemuda tampan yang baik hati, suka menolong dan tidak sombong.

Selasa, 21 Desember 2010

Al Imam Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah, Penulis: Al Ustadz Zainul Arifin

**

Beliau dilahirkan di Samarqand dan dibesarkan di Abi Warda, suatu tempat di daerah Khurasan.

Tidak ada riwayat yang jelas tentang kapan beliau dilahirkan, hanya saja beliau pernah menyatakan usianya waktu itu telah mencapai 80 tahun, dan tidak ada gambaran yang pasti tentang permulaan kehidupan beliau.

Sebagian riwayat ada yang menyebutkan bahwa dulunya beliau adalah seorang penyamun, kemudian Allah memberikan petunjuk kepada beliau dengan sebab mendengar sebuah ayat dari Kitabullah.

Disebutkan dalam Siyar A’lam An-Nubala dari jalan Al-Fadhl bin Musa, beliau berkata: “Adalah Al-Fudhail bin ‘Iyadh dulunya seorang penyamun yang menghadang orang-orang di daerah antara Abu Warda dan Sirjis. Dan sebab taubat beliau adalah karena beliau pernah terpikat dengan seorang wanita, maka tatkala beliau tengah memanjat tembok guna melaksanakan hasratnya terhadap wanita tersebut, tiba-tiba saja beliau mendengar seseorang membaca ayat:

“Belumkah datang waktunya bagi orang –orang yang beriman untuk tunduk hati mereka guna mengingat Allah serta tunduk kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang –orang yang sebelumnya telah turun Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan mayoritas mereka adalah orang-orang yang fasiq.” (Al Hadid: 16)

Maka tatkala mendengarnya beliau langsung berkata: “Tentu saja wahai Rabbku. Sungguh telah tiba saatku (untuk bertaubat).” Maka beliaupun kembali, dan pada malam itu ketika beliau tengah berlindung di balik reruntuhan bangunan, tiba-tiba saja di sana ada sekelompok orang yang sedang lewat. Sebagian mereka berkata: “Kita jalan terus,” dan sebagian yang lain berkata: “Kita jalan terus sampai pagi, karena biasanya Al-Fudhail menghadang kita di jalan ini.” Maka beliaupun berkata: “Kemudian aku merenung dan berkata: ‘Aku menjalani kemaksiatan-kemaksiatan di malam hari dan sebagian dari kaum muslimin di situ ketakutan kepadaku, dan tidaklah Allah menggiringku kepada mereka ini melainkan agar aku berhenti (dari kemaksiatan ini). Ya Allah, sungguh aku telah bertaubat kepada-Mu dan aku jadikan taubatku itu dengan tinggal di Baitul Haram’.”

Sungguh beliau telah menghabiskan satu masa di Kufah, lalu mencatat ilmu dari ulama di negeri itu, seperti Manshur, Al-A’masy, ‘Atha’ bin As-Saaib serta Shafwan bin Salim dan juga dari ulama-ulama lainnya. Kemudian beliau menetap di Makkah. Dan adalah beliau memberi makan dirinya dan keluarganya dari hasil mengurus air di Makkah. Waktu itu beliau memiliki seekor unta yang beliau gunakan untuk mengangkut air dan menjual air tersebut guna memenuhi kebutuhan makanan beliau dan keluarganya.

Beliau tidak mau menerima pemberian-pemberian dan juga hadiah-hadiah dari para raja dan pejabat lainnya, namun beliau pernah menerima pemberian dari Abdullah bin Al-Mubarak.

Dan sebab dari penolakan beliau terhadap pemberian-pemberian para raja diduga karena keraguan beliau terhadap kehalalannya, sedang beliau sangat antusias agar tidak sampai memasuki perut beliau kecuali sesuatu yang halal.

Beliau wafat di Makkah pada bulan Muharram tahun 187 H. (Diringkas dari Mawa’izh lil Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh, hal. 5-7)

Rasulullah SAW dan pengemis yahudi buta

Di sudut pasar Madinah Al-Munawarah seorang pengemis Yahudi buta hari demi hari apabila ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata "Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya". Setiap pagi Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad. Rasulullah SAW melakukannya hingga menjelang Beliau SAW wafat. Setelah kewafatan Rasulullah tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu.

Suatu hari Abubakar r.a berkunjung ke rumah anaknya Aisyah r.ha. Beliau bertanya kepada anaknya, "anakku adakah sunnah kekasihku yang belum aku kerjakan", Aisyah r.ha menjawab pertanyaan ayahnya, "Wahai ayah engkau adalah seorang ahli sunnah hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja". "Apakah Itu?", tanya Abubakar r.a. Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana", kata Aisyah r.ha.

Ke esokan harinya Abubakar r.a. pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abubakar r.a mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepada nya. Ketika Abubakar r.a. mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak, "siapakah kamu ?". Abubakar r.a menjawab, "aku orang yang biasa". "Bukan !, engkau bukan orang yang biasa mendatangiku", jawab si pengemis buta itu. Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan mulutnya setelah itu ia berikan pada ku dengan mulutnya sendiri", pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abubakar r.a. tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, aku memang bukan orang yang biasa datang pada mu, aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW. Setelah pengemis itu mendengar cerita Abubakar r.a. ia pun menangis dan kemudian berkata, benarkah demikian?, selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia.... Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat dihadapan Abubakar r.a.

Minggu, 19 Desember 2010

Ketika Aku Menyentuh awan

Hai. Gue penggemar (ngga berat banget ya) novel fiksi yang berdasarkan kisah nyata, atau novel remaja yang bahasanya santai dan fleksibel. Nah kali ini gue mau share tentang novel "Ketika aku menyentuh awan" karya orang hebat tentunya! (Bilang aja lupa, nan-_-) Ya pokoknya seru. Dan ini novel pertama yang berhasil membuat gue nangis tersedu-sedu*lebay. Tapi serius kok. Oke, cekidot aja ya. Ini gue copas dan sumbernya gue lupa lagi -_-


Tiara Savitri, pendiri dan Ketua Yayasan Lupus Indonesia, mengenal penyakit lupus atau SLE (Systemic Lupus Erythematosus) tahun 1987, ketika dokter memvonisnya mengidap lupus. Saat itu lupus belum dikenal luas di Indonesia, sehingga Tiara tidak langsung mendapatkan terapi yang sesuai. Sebelum diagnosis lupus ditegakkan, Tiara sempat didiagnosis berbagai penyakit seperti tifus, demam berdarah, batu ginjal, rematik, bahkan sifilis. Hal ini tidak mengherankan, karena lupus yang disebut-sebut sebagai penyakit seribu wajah bisa menyerang seluruh organ di dalam tubuh manusia. Lupus sebetulnya disebabkan oleh kelebihan antibodi dalam tubuh manusia. Antibodi yang seharusnya melakukan proteksi atas serangan kuman berbalik menyerang tubuh manusia. Akibatnya, dugaan terserang berbagai penyakit bisa muncul dan terapi yang dilakukan tidak pernah efektif. Umumnya, orang yang terserang lupus akan mengalami hal-hal seperti demam tinggi hilang-timbul yang berkepanjangan, kerontokan rambut, sariawan yang juga hilang-timbul, sakit pada persendian, dan timbulnya ruam-ruam pada kulit seperti demam berdarah atau pada wajah yang disebut butterfly rash.



Lupus mengubah kehidupan Tiara. Sebagai remaja, ia adalah pribadi yang aktif dan mudah bergaul; salah satunya ia dikenal sebagai mayoret drum band sekolahnya. Pada 1987, Tiara sempat mengikuti ajang pemilihan Abang dan None Jakarte dan terpilih sebagai juara harapan dua. Namun lupus nyaris merampok keindahan masa belianya. Wajahnya yang cantik berubah aneh karena mengalami pembengkakan; kulitnya mengelupas, dan rambutnya rontok hingga botak. Penampilan seperti itu membuatnya dijauhi sebagian teman dan ditinggalkan kekasih yang telah menjalin hubungan selama empat tahun.



Dalam keadaan tak berdaya karena sakit, Tiara sempat mengalami koma. Semua anggota keluarga telah dikumpulkan, sang ayah –almarhum Poernomo Kismosoedirjo- telah mengalunkan kalimat Syahadat. Tiara tiba-tiba sadar dari koma. Perempuan kelahiran Beograd (ketika ayahnya bertugas sebagai atase militer di bekas negara Yugoslavia) 5 Agustus 1968 ini mengaku sempat bertemu dengan sosok pria berjubah putih yang mengajaknya pergi. Menurutnya pula, ia menolak karena ingin minum obat dan sembuh.



Kehidupan dan perjuangan Tiara Savitri -yang adalah adik aktor Donny Damara- sebagai odapus (orang yang hidup dengan lupus) menggugah Damien Dematra untuk kembali menulis novel yang mengangkat kisah penderita lupus. Sebelumnya, ia telah menulis novel tentang pasien lupus berjudul "Tuhan Jangan Pisahkan Kami". Novel ini didedikasikannya kepada Tiara Savitri dan semua odapus di Indonesia. Dengan penyesuaian berbagai hal untuk keperluan cerita, kisah Tiara Savitri mengejawantah dalam novel inspirasi bertajuk "Ketika Aku Menyentuh Awan". Novel ini belum tamat, kelanjutannya akan dihadirkan dalam buku kedua yang diberi judul "Aku Ingin Hidup 68 Tahun Lagi".



Sejatinya, novel ini adalah perjalanan hidup Tiara Savitri, maka Damien pun memberi nama Tiara pada karakter sentralnya. Kisah kehidupan Tiara dimulai dengan sebuah prolog berseting Jakarta 1987 ketika ia berada dalam keadaan koma dan bertemu pria berjubah putih dan bersorban. Setelah menolak ajakan pria itu karena ingin sembuh, Tiara menapak tilas kehidupannya yang telah lewat. Tiara dilahirkan di Beograd sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara pada waktu ayahnya, Hartono Puntadewa, sedang bertugas sebagai atase militer. Keluarga Puntadewa kembali ke Indonesia tiga tahun setelah kelahiran Tiara.



Sejak kecil Tiara telah dikenal sebagai anak yang pintar dan energik. Ia menunjukkan minat dan bakat dalam kegiatan seperti basket, menari, dan drum band. Tidak heran, dalam usia sangat belia, Tiara telah mencuri perhatian anak-anak lelaki teman sekolah. Tercatat nama-nama seperti Catur, Darma, dan Fatur. Tiara tidak menggubriskan mereka. Ia hanya tertarik pada Arkansas, teman SD yang pernah mengajarinya bermain basket. Arkansas sempat menghilang lalu muncul lagi setelah Tiara memasuki SMA. Rupanya, setelah perceraian orangtuanya, Arkansas dibawa ayahnya ke Amerika. Ia pulang ke Indonesia saat ibunya meninggal dan memutuskan bersekolah di tanah air.



Arkansas sangat mencintai Tiara, dan tidak ingin berpisah dengan gadis itu. Bahkan ketika Tiara harus dirawat di rumah sakit, mengalami deformasi berkepanjangan, ia berusaha mendampingi Tiara. Penyakitnya memang membuat Tiara rapuh. Apalagi penyakitnya berhasil merampok kecantikannya. Tiara yang pernah menjadi rebutan pria malihrupa monster yang mengerikan. Rambut rontok, kulit bersisik, ruam di sekujur tubuh, sariawan tanpa henti, dan pembengkakan tubuh menghancurkan penampilannya. Padahal dirinya pernah menjadi idola, pernah dielukan pada ajang Abang dan None Jakarte. Ada saat, manakala kerapuhan menghantam, Tiara tidak ingin bertemu orang lain, termasuk Arkansas. Ia tidak sadar, kerapuhannya membuat Arkansas terpuruk putus asa.



Setelah diagnosis lupus berhasil ditegakkan, Tiara akhirnya mendapatkan terapi yang mendatangkan perbaikan. Hanya, penyakitnya tidak akan sepenuhnya hilang. Banyak hal yang harus ia lakukan untuk mempertahankan kesehatannya. Tidak boleh kelelahan dan tidak boleh terpapar matahari. "Hiduplah dengan damai dengan diri kamu sendiri, dengan sesama, dengan Tuhan, dan juga dengan lupus," kata Dokter Arwana yang merawatnya (hlm. 209). Tiara boleh keluar rumah sakit, melanjutkan kehidupannya, meneruskan kuliahnya yang terbengkalai. Sewaktu muncul kembali di kampus, ia menemukan kenyataan getir: dijauhi teman-teman dekatnya dan ditinggalkan Arkansas, kekasihnya.



Hidup memang tidak gampang, tetapi keajaiban selalu datang. Mengisi waktu senggangnya, Tiara bekerja. Di tempat kerja, ia bertemu lelaki yang mencintainya, lelaki yang tidak pergi meskipun tahu seumur hidup, Tiara akan bersama dengan lupus.



"Ketika Aku Menyentuh Awan" adalah bentuk simpati Damien Dematra terhadap kehidupan dan perjuangan odapus. Lewat Tiara, Damien membantu mengepakkan sayap kepercayaan para odapus. Bahwa, sekalipun mengidap lupus, mereka tetap bisa hidup normal. Semangat yang digelontor Damien sama sekali tidak bertendensi mengecilkan penyakit lupus. Karena di dalam novel ini, Damien tetap menyuguhkan dampak mengenaskan yang disebabkan penyakit ini. Bahkan, dikisahkan, karena hampir tidak bisa menahan sakit, Tiara hampir menyangsikan keadilan Tuhan. Kemenangan Tiara dimulai saat ia meminta ayahnya membuat foto-fotonya dalam keadaan sakit.



Tidak pelak lagi, novel ini menjadi sarana sosialisasi penyakit lupus. Secara langsung, hasil kerja Damien akan membantu upaya Yayasan Lupus Indonesia dalam membangkitkan kesadaran masyarakat mengenai lupus. Pengungkapan gejala-gejala yang menyertai lupus digambarkan secara gamblang, sehingga bisa menjadi perhatian masyarakat jika menemukan hal yang sama, dalam dirinya atau keluarganya. Setidaknya, dengan mengetahui secara dini, kebingungan bisa diredam dan penyakit bisa lebih cepat ditanggulangi. Memang, sampai saat ini terapi yang tepat belum ditemukan, tetapi pengalaman Tiara pasti akan memberikan harapan pada kehidupan. Tidak terlupakan tentu saja, dukungan moral keluarga dalam perjuangan anggotanya yang mengidap lupus.



Saya tidak setuju dengan pemikiran Damien yang diembuskan melalui Tiara yang menyatakan bahwa: "Kalaupun Sang Pencipta ingin membuat sebuah tubuh yang sakit untuk memberi contoh agar orang-orang sehat dapat bersyukur, haruskah ia mempertanyakannya?" (hlm. 184). Pernyataan ini tampak indah dan mendalam, tetapi menyesatkan. Seolah-olah hendak menyatakan bahwa penyakit bisa menjadi metode yang dipakai Tuhan dalam mengedukasi manusia. Tuhan yang saya pahami tidak menciptakan penyakit, dan kalaupun manusia telanjur sakit, Tuhan kerap memanfaatkan situasi tersebut untuk mendatangkan kebaikan pada manusia.



Sebagaimana gaya penulisan Damien pada novel-novelnya yang lain, novel ini juga ditulis tanpa bertele-tele. Kendati tidak ada konflik antar karakter yang meruncingkan plot, sesungguhnya cerita mengalir lancar. Kisah cinta yang hampir dominan memang tidak punya daya sengat yang signifikan. Bahkan, pada bagian tertentu terkesan berlebihan sehingga karakter Arkansas menjadi sangat menyebalkan. Perjuangan Tiara mengatasi lupus, sejak penyakitnya belum dikenal hingga kondisi tubuhnya mengalami perbaikan, itulah yang menjadikan novel ini signifikan dan amat berharga.



Novel ini masih membutuhkan sentuhan editor lagi. Masih tersisa kalimat-kalimat yang tidak sedap dibaca, seperti ditemukan dalam novel-novel Damien terbitan Gramedia lainnya. Masih terselip inkonsistensi. Pada halaman 85, Tiara yang masih SMP disebut kapten tim bola basket SMA. Inkonsistensi yang paling menyebalkan terjadi seputar Darma, teman Tiara sejak SD hingga SMA. Sebelumnya, disebutkan, "Darma akhirnya memilih sekolah di Bandung, karena ia ingin masuk fakultas teknik (hlm. 156), mendadak ia muncul sebagai teman sekampus Tiara (baca mulai hlm. 215). Saya curiga semua retakan ini disebabkan oleh penulisan novel yang digegas. Dalam bagian "Catatan Penulis" novel "Ternyata Aku Sudah Islam" (Januari, 2010l), Damien menulis bahwa novel yang terinspirasi kisah nyata grup musik "Debu" ini" ditulis dalam waktu yang relatif lama", dan ternyata, waktu yang relatif lama itu adalah "tujuh hari".



Akhirnya, tahukah Anda, bahwa sejak tahun 2004, 10 Mei ditetapkan sebagai Hari Lupus Sedunia?